BAB I
PENDAHULUAN
Allah telah memberikan kedudukan kepada Nabi Muhammad sebagai Rasulullah dengan fungsi antara lain: menjelaskan Al-Qur’an, dipatuhi oleh orang-orang beriman, menjadi Uswatun Hasanah dan rahmad bagi seluruh alam.Berangkat dari pemahaman tersebut, maka untuk mengetahui hal-hal yang harus diteladani dan yang tidak harus diteladani dari diri Nabi, diperlukan sebuah penelitian. Dengan demikian, dapat diketahui hadits Nabi yang berkaitan dengan ajaran Agama Islam, praktek Nabi dalam mengaplikasikan petunjuk Al-Qur’an sesuai dengan tingkat budaya masyarakat yang sedang dihadapi oleh Nabi dan sebagainya.
Hadist yang tertulis baik secara resmi atau
tidak resmi yang berupa catatan yang dibuat oleh para sahabat tertentu
atas inisiatif mereka sendiri, jumlahnya pun tidak banyak. Untuk menjaga
keabsahan hadits Nabi, maka diperlukan pembukuan hadits, dimana didalam hadits terdapat
seorang perawi, sanad dan matan. Dan untuk lebih mengenal tentang para
orang yang meriwayatkan hadits, diperlukan pengenalan lebih lanjut
terhadap para mukhorij hadist. Berangkat dari fakta di atas, kami akan
sedikit menyinggung dan
membahas tentang para mukhorij hadist.
membahas tentang para mukhorij hadist.
Setelah Al-Quran, hadits nabi adalah panduan
kedua umat Islam dalam menjalani kehidupannya. Dan di antara kitab-kitab hadits
yang jumlahnya puluhan ada beberapa kitab hadits yang masyur yang sangat
tersohor penulisnya, salah satunya adalah Shahih Bukhari yang keakuratannya paling
terpercaya.
Dalam khazanah hukum Islam, kitab-kitab hadits
mempunyai kedudukan yang sangat penting, sebagai sumber kedua hukum Islam
setelah Al-Quran. Dalam ranah keilmuan hadits, dikenal istilah kutubus sittah
yang berarti enam kitab induk kumpulan hadits nabi yang diakui sebagai rujukan.
BAB II
POKOK-POKOK BAHASAN
KITAB-KITAB HADITS DAN PENYUSUNNYA
A. AL-MUWATHTHA KARYA IMAM MALIK
Kitab ini disusun oleh ulama besar yang hidup pada generasi tabi’ut
tabi’in, bintangnya para ulama di Madinah dan guru dari para Imam madzhab. Kitab
hadits yang disusun oleh oleh ulama besar kelahiran Madinah itu diakui
keakuratan dan bobot keilmuannya. Itulah kitab Al-Muwaththa’ karya Al-Imam
Malik bin Anas. Demikian hebat kitab tersebut, hingga Imam Syafi’i mengatakan,
“Tidak ada kitab dalam masalah ilmu yang lebih banyak benarnya dibandingkan
dengan Muwaththa’-nya Malik.”
Kitab yang berisi lima ribuan
hadits shahih itu disaring Imam Malik dari seratus ribu hadits dihafalnya, yang
diperoleh dari 40 tahun pencarian dan pembelajaran ke ahli-ahli hadits
terkemuka. Dalam sebuah riwayat diceritakan, khalifah kedua Bani Abbasiyyah,
Abu Ja’far Al-Manshur, meminta Imam Malik untuk menulis hadits-hadits yang
dikuasainya agar bisa menjadi rujukan. Namun karena Imam Malik
memerlukan waktu yang cukup lama dalam menyusun kitab perdananya itu, Khalifah
Abu Ja’far Al-Manshur yang keburu meninggal tidak sempat lagi membacanya. Namun penggantinya, Harun Al-Rasyid, sangat
menghormati kitab karya Imam Malik tersebut, sampai pernah bermaksud
menggantungnya di dinding Ka’bah sebagai lambang persatuan ulama dalam hal
agama.
Usai menyusun kitab kumpulan
haditsnya tersebut, Imam Malik sempat kebingungan mencari judul yang sesuai
untuk kitabnya. Sampai suatu ketika ia bermimpi dikunjungi Rasulullah yang
bersabda kepadanya, “Sebarkan kitab ini kepada manusia.” Ketika bangun dari
tidur, Imam Malik pun mantap menamakan kitabnya dengan Al-Muwaththa’ yang
artinya kitab yang disepakati atau panduan.
Kitab Al-Muwaththa disebarkan kepada umat Islam melalui murid-muridnya,
terutama murid terakhirnya yang wafat 80 tahun setelah wafatnya Imam Malik,
yakni Abu Hudzafah Ahmad bin Isma’i1 As-Sahmi.
Jika menilik riwayat
penyusunnya, Kitab Al-Muwaththa memang sangat layak untuk dihormati. Betapa
tidak, Imam Malik, sejak masa hidupnya hingga saat ini termasuk salah seorang
ulama tak pernah berhenti disanjung karena keilmuannya . Imam Syafi’i, misalnya, mengomentari sang guru
dengan ucapan, “Jika disebutkan nama-nama ulama, Imam Malik adalah bintangnya.”
Pendiri madzhab Syafi’iyyah itu juga menambahkan, “ Kalau bukan karena
(perantaraan) Imam Malik dan Ibnu Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu yang ada
di Hijaz.
1. Sanad Paling Shahih
Tak heran jika seluruh penduduk Hijaz menjuluki Imam Malik dengan Sayyidu
Fuqaha-il Hijaz, penghulu para ahli fiqih Hijaz. Sementara Imam Yahya bin Sa’id Al-Qahthan dan Yahya bin Ma’in, dua ulama
besar Hijaz lainnya menjulukinya Amirul Mu’minin Fil Hadits, pemimpin
orang-orang beriman dalam bidang
hadits.”
Bahkan Imam Al-Bukhari, muhaddits besar penyusun kitab Shahih Bukhari,
mengatakan, “Yang dikatakan ashahhul asanid, sanad hadits yang paling shahih
adalah sanad yang terdiri dari Malik, Nafi’, dan Ibnu Umar.”
Dan jika ditelusuri lebih
jauh, keunggulan ilmu Imam Malik sudah diisyaratkan sejak masa beginda Nabi
Muhammad SAW. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,
“Sungguh manusia akan menempuh perjalanan jauh untuk menuntut ilmu, maka mereka
tidak mendapati seorang alim pun yang lebih berilmu dibandingkan dengan ulama
Madinah.” (HR An-Nasa’i, Ibnu Abi Hatim dan Adz-Dzahabi).
Sufyan bin Uyainah berkata, “Dulu aku mengira orang itu adalah Sa’id bin
Musayyib, tetapi sekarang aku yakin bahwa dia adalah Malik yang tiada
bandingannya di Madinah.”
2. Biografi Imam Malik
Imam yang lahir di Kota Madinah pada tahun 93 H itu memiliki nama lengkap
Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin Al Harits
Al-Ashbahi. Abu Amir adalah warga Yaman yang berhijrah ke
Madinah untuk belajar dan mengikuti perjuangan Rasulullah SAW.
Sedangkan kakek Imam Malik yang juga bernama Malik adalah seorang tabi’in
besar yang juga ahli fiqih kenamaan pada masanya. Ia adalah salah seorang dari empat tabi’in yang jenazahnya dibawa sendiri
oleh Khalifah Utsman.
Ibunda Imam Malik adalah Aliyah Syuraik yang dalam sebuah riwayat
diceritakan, telah mengandung janin Imam Malik selama dua atau tiga tahun di
dalam perut sebelum melahirkannya di Kampung Zuwarmah di utara Madinah, pada
zaman pemerintahan Khalifah Al-Walid Abdul Malik.
Ketika Malik lahir, Madinah
terkenal sebagai pusat ilmu keislaman, dengan para tabi’in sebagai
guru-gurunya. Kondisi sosial yang kondusif memupuk cinta Malik kecil terhadap
ilmu al-Quran dan hadits sejak kecil. Setiap kali belajar satu hadits, bocah
yang dikenal memiliki hafalan sangat kuat itu lalu mengikat sebuah simpul tali
sebagai pengingat hadits yang dipelajarinya.
Imam Malik bin Anas dikenal berwajah tampan, berkulit putih
kemerah-merahan, berperawakan tinggi besar, berjenggot lebat, pakaiannya
selalu bersih, suka berpakaian berwarna putih, jika memakai imamah sebagian
diletakkan di bawah dagunya dan ujungnya diuraikan di antara kedua pundaknya.
Tokoh yang termasyhur dengan kecerdasan, keshalihan, keluhuran jiwanya, dan
kemuliaan akhlaqnya itu juga gemar memakai wangi-wangian dari misik dan yang
lainnya.
Imam Malik menuntut ilmu ketika
masih berusia belasan tahun. Ketika remaja, Malik yang hidup dalam keadaan
sangat miskin sering terpaksa menjual kayu dari atap rumahnya yang runtuh untuk
mendapatkan uang bekal mengaji.
Ketika berusia 17 tahun, ulama
yang konon berguru kepada 900 orang ulama kalangan tabi’in itu sudah sangat
alim dalam ilmu agama. Di antara guru-gurunya adalah Imam Nafi’ bin Abi Nu’aim,
Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair,
Ibnul Munkadir, dan Abdullah bin Dinar.
Dan ketika usianya menginjak
21 tahun, ia sudah dipercaya para ulama untuk berfatwa dan membuka majelis
ta’lim. Banyak ulama yang mengambil ilmu riwayat darinya, meski saat itu
usianya jauh lebih muda. Murid-muridnya antara lain Abdullah Ibnul Mubarak,
Al-Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qasim, Al-Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf,
Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya Al-Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu
Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats-Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Muhammad bin
Idris Asy-Syafi’i, Abu Hudzafah As-Sahmi, dan Az-Zubairi.
Dipercaya menjadi seorang
mufti di usia belia, tidak membuat Imam Malik lupa diri. Abu Mush’ab
menceritakan, “Aku mendengar Malik berkata, ‘Aku tidak berfatwa hingga 70
orang bersaksi bahwa aku layak berfatwa.” Dalam berfatwa pun Imam Malik
terkenal sangat berhati-hati
Walaupun dikenal sebagai ulama
terbesar pada masanya, Imam Malik juga tak luput dari ujian. Pada masa
pemerintahan Al-Manshur Imam Malik pernah dipukul dengan cambuk sebanyak tujuh
puluh kali lecutan.
Dikisahkan ketika khalifah
Al-Manshur melarang Malik menyampaikan hadits, “Tidak ada thalaq bagi orang
yang dipaksa.” Tetapi ada orang yang dengki dengannya yang menyelundup di
majelisnya yang menanyakan hadits tersebut hingga Malik menyampaikannya di muka
umum. Abu Ja’far yang murka mencambuk Imam Malik.”
Muhammad bin Umar berkata,
“Sesudah kejadian tersebut Malik semakin naik derajatnya di mata manusia.”
Adz-Dzahabi menambahkan, “Inilah buah dari ujian yang terpuji, akan mengangkat
kedudukan hamba di sisi orang-orang yang beriman.”
B. SHAHIH AL-BUKHARI KARYA IMAM AL-BUKHARI
Di antara kitab-kitab hadis
yang berkembang, kitab Shahih Imam Al-Bukhari merupakan salah satu di antara
kitab hadis yang paling populer dan mendapat perhatian luas dari masyarakat. Di
antara ulama bahkan mengatakan tidak ada kitab yang paling sahih setelah
al-Qur’an selain kitab Shahih Al-Bukhari. Anggapan ulama bahwa kitab Shahih
Imam al-Bukhari ini memiliki akurasi yang tinggi, bukan tanpa alasan. Tetapi,
memang dipahami dari metode Imam al-Bukhari sendiri di dalam menyeleksi
hadis-hadis yang beliau masukan ke dalam kitab Shahih-nya.
Shahih Bukhari adalah karya
terbesar dan terpenting di bidang hadits. Sejak dulu banyak ulama yang
meyakini, jika kitab Shahih Bukhari dibaca secara berjamaah akan mucul
fadhilahnya, seperti untuk menangkal musibah dan memulihkan keamanan suatu
daerah.
Nama asli Imam Bukhari adalah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Ju'fi Al-Bukhari. Julukan
penghormatannya Abu Abdullah. Sedangkan nama Bukhari dinisbatkan kepada desa
tempat kelahiran beliau, Bukhara. Imam Bukhari lahir pada hari Jum'at 13 Syawal
194 H (810 M), di Bukhara, Uzbekistan. Ayahnya, juga dikenal sebagai ulama ahli
hadits yang pernah berguru kepada beberapa tabi’in dan tabiut tabi’in, seperti
Imam Malik bin Anas, dan Imam Abdullah bin Al-Mubarak.
Ketika usianya menginjak 10
tahun, Imam Muhammad Al-Bukhari yang mempunyai kecerdasan dan daya ingat yang
diatas rata-rata, mulai belajar dan menghafal hadits. Merasa tak cukup dengan
sekedar berguru di desanya, ia pun mulai mendatangi tokoh-tokoh ahli hadits di
sekitar desanya.
Ketika berusia 16 tahun, nama Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mulai dikenal
di kalangan muhaditsin sebagai pemuda yang cerdas yang telah hafal Al-Qur'an
dan beberapa kitab hadits yang ditulis Imam Abdullah bin Al-Mubarak dan Imam
Waki' (guru Imam Syafi’i), ahli hadits pada masanya.
Tahun 210 H, Muhammad
Al-Bukhari diajak menunaikan ibadah haji oleh ibunya. Kali ini ia akan
mendapatkan kesempatan belajar kepada ulama yang tinggal sepanjang jalur
hajinya. Dan seperti yang telah diduga sebelumnya, ketika ibunya kembali ke
Bukhara, Muhammad Al-Bukhari memilih untuk tinggal di Mekkah. Di tanah suci ia
berguru kepada ulama ahli hadits pada masa itu, seperti Al-Walid, Al-Azraqi,
dan Ismail bin Salim. Ia juga ia mengunjungi kota Madinah, untuk menemui para
anak cucu sahabat Nabi SAW dan mendengarkan hadits dari mereka. Setelah dirasa cukup, Imam Muhammad Al-Bukhari pun meninggalkan Mekkah dan
Madinah, untuk memulai pengembaraan panjangnya menemui para ulama hadits di
berbagai pelosok daerah. Ia tercatat sebagai orang pertama melakukan perjalanan terpanjang dalam
mencari hadits.
Selama pengembaraannya,
Muhammad Al-Bukhari juga sempat menulis beberapa buku tentang hadits. Di
antaranya Al-Adab Al-Mufrad, Ra'fu Al-Yadain fii As-Shalah, Birru Al-Walidain,
At-Taariikh Al-Ausat, Ad-Dhuafa', Al-Asyribah, dan Al-Hibah. Namun dari sekian
banyak karyanya tersebut, Al-Jami’ush Shahih atau Shahih Bukhari lah yang
mengabadikan nama Imam Muhammad Al-Bukhari dalam khazanah keilmuan Islam.
Setelah mengembara selama 16
tahun, konon Imam Bukhari berhasil menghimpun sekitar 600.000 hadits, yang
diperolehnya dari puluhan negeri dan ribuan guru. Setelah diadakan
penyeleksian, menurut perhitungan Ibnu Shalah dan Imam Nawawi, terjaring 7.275
hadits yang dianggap shahih. Jumlah itu termasuk pengulangan hadits dalam
beberapa bab berbeda. Sedangkan bila tanpa pengulangan, tercatat sekitar 4.000
hadits.
Lain lagi menurut perhitungan
Al-Imam Al-Hafidz. Jumlah hadits shahih dalam kitab karya Al-Bukhari adalah
sebanyak 7.397 hadits dengan pengulangan. Sedang bila tanpa pengulangan
sebanyak 2.602 hadits.
Kitab Shahih Bukhari memang
sangat fenomenal. Hingga saat ini kini lebih dari 100 kitab syarah (penjelasan)
Shahih Bukhari telah disusun oleh para ulama. Yang paling terkenal diantaranya
adalah : Fathu Al-Baari yang disusun Imam Syihabuddin Ahmad bin Ali bin
Muhammad bin Muhammad bin Hajar Al-'Asqalani (wafat tahun 853 H), Irsyadu
As-Saari disusun Imam Ahmad bin Muhammad Al-Mishri Al-Qashthalani (wafat tahun
923 H), 'Umdatu Al-Qaari karya Al-'Aini (wafat 855 H) dan At-Tawsyih karya
Jalaluddin As-Suyuthi.
Dalam teknis penulisanya,
Al-Bukhori membuat bab-bab sesuai dengan tema dan materi hadits yang akan
ditulisnya, setelah selesai menulis kitab shahihnya,
Al-Bukhori memperlihatkanya kepada Ahmad Ibn Hanbal, Ibn Ma’in, Ibn
Al-Madani, dan lainnya dari kalangan Ulama’-Ulama’ hadits. Mereka semuanya
menilai bahwa hadits-hadits yang terdapat didalamnya kualitasnya tidak
diragukan, kecuali 4 buah hadits saja dari sekian banyak hadits yang memerlukan
peninjauan ulang untuk dikatakan sebagai hadits shohih.
Dan diantara semua kitab syarah Shahih Bukhari yang pernah dibuat, Fathu
Al-Baari dianggap sebagai yang paling bagus, hingga digelari “Penghulu Syarah
Bukhari”. Selain syarah, ada juga beberapa kitab yang
men-ta’liq (memberi komentar/penjelasan pada bagian-bagian tertentu). Ada juga ulama yang meringkas kitab tersebut,
yang lazim disebut mukhtashar (ringkasan), seperti : At-Tajridu As-Shahih
disusun Al-Husain bin Al- Mubarak dan At-Tajridu As-Shahih, oleh Ahmad bin
Ahmad bin Abdul Latif Asy-Syiraji Az-Zabidi.
Al Bukhori meninggal di
desa Khartand kota Samarkand pada tanggal 31 Agustus 870 M (30 Ramadhan tahun
256 Hijriyah.) pada malam idul fitri pada usia 62 tahun kurang 13 hari, ia
dimakamkan selepas sholat dhuhur pada hari raya Idul Fitri.
.
C. SHAHIH MUSLIM KARYA IMAM
MUSLIM
Penghimpun dan penyusun hadits terbaik kedua
setelah Imam Bukhari adl Imam Muslim. Nama lengkapnya ialah Imam Abul Husain
Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Ia juga
mengarang kitab As-Sahih . Ia salah seorang ulama terkemuka yg namanya tetap
dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H. menurut
pendapat yg sahih sebagaimana dikemukakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam
kitabnya ‘Ulama’ul-Amsar.
Ia belajar hadits sejak masih dalam usia dini
yaitu mulai tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz Irak Syam Mesir dan negara-negara
lainnya.
Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup
penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya, Shahih
Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya, kitab Shahih Muslim
memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan
perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan tidak mencantumkan
judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping itu, perhatiannya
lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.
Walaupun dia memiliki nilai beda dalam metode
penyusunan kitab hadits, Imam Muslim sekali-kali tidak bermaksud mengungkap
fiqih hadits, namun mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau
meriwayatkan setiap hadits di tempat yang paling layak dengan menghimpun
jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut. Sementara al-Bukhari memotong-motong
suatu hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat beliau sebutkan lagi
sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau sangat menghormati gurunya itu, sehingga
beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan al-Bukhari.
Dalam lawatannya Imam Muslim banyak mengunjungi
ulama-ulama kenamaan utk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan ia berguru
kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada
Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak ia belajar hadits kepada Ahmad bin
Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa’id bin Mansur dan
Abu Mas’Abuzar; di Mesir berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya
dan kepada ulama ahli hadits yang lain.
Muslim berkali-kali
mengunjungi Baghdad utk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits dan kunjungannya
yang terakhir pada 259 H. di waktu Imam Bukhari datang ke Naisabur
Muslim sering datang kepadanya untuk berguru sebab ia mengetahui jasa dan
ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli
ia bergabung kepada Bukhari sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan
dengan Az-Zihli.
D. SUNAN ABU
DAUD KARYA IMAM ABU DAUD
Di antara kitab-kitab kumpulan hadits, inilah kitab yang susunannya
bercorak fiqih yang penyusunannya sangat sistematis. Jika kita mengagumi kitab
kumpulan hadits karya Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasa’i, maka kita harus
terlebih dulu mengagumi kitab kumpulan hadits karya guru mereka yang juga
berjudul As-Sunan. Kitab yang juga banyak bercorak fiqih itu ditulis muhadits
dan faqih besar pada masanya yaitu Al-Imam Sulaiman bin Imran bin Al-Asy`ats
bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amr bin Imron Al-Azdy As-Sajistani atau
biasa disebut Imam Abu Dawud.
Kitab As-Sunan tersebut memuat
4800 hadits yang disaring dari 50.000an hadits. Dan 50.000 hadits itu sendiri
merupakan saringan dari ratusan ribu hadits yang diperolehnya saat berkelanan.
Kumpulan hadits berjumlah 4800 itulah yang lalu ditulis pada kitab As-Sunan.
Tentang kualitas kitab tersebut Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah mengomentari,
“Kitab Sunan Abu Dawud adalah kitab yang dengan topiknya Allah telah
mengkhususkan kedudukan penulisnya. Dalam banyak pembahasan yang bisa menjadi
hukum, hendaklah para mushannif (pengarang kitab) mengambil hukum dari kitab
itu dan kepada itu pula hendaknya para muhaqqiq (pencari kebenaran) merasa
ridha. Sesungguhnya Abu Dawud telah mengumpulkan
sejumlah hadits ahkam (hukum) dan menyusun serta mengaturnya dengan
sebaik-baiknya. Dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi ia membuang sejumlah
hadits dari para perawi yang majruh (mempunyai cela) dan dhu'afa (memiliki
kelemahan).”
Demikian besar keutamaan kitab Sunan Abu Dawud, hingga ketika usai disusun,
Ibrahim al-Harbi, seorang ulama ahli hadits pada masa itu mengomentari, “Hadits
telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan untuk Nabi
Dawud.” Ungkapan yang menunjukan keistimewaan seorang ahli hadits itu
dimaksudkan, Imam Abu Dawud telah menyederhanakan persoalan hadits yang rumit,
mendekatkan yang jauh dan memudahkan yang sukar.
Selain ahli hadits, Imam Abu
Dawud juga menonjol sebagai seorang faqih, ahli fiqih. Kefaqihan dan
keahliannya dalam ilmu hadits tampak berpadu ketika Imam Abu Dawud mengritik
sejumlah hadits yang bertalian dengan hukum fiqih dan dalam penjelasan bab-bab
fiqih pada kitab-kitab haditsnya. Kedalaman ilmu Abu Dawud tersebut –meski luar
biasa-- cukup dimaklumi mengingat beliau murid kesayangan Imam Ahmad bin Hanbal,
pendiri madzhab Hanbali.
Jumlah hadits dalam Sunan Abu
Dawud adalah sebanyak 4800 hadits, sebagian ulama menghitungnya sebanyak 5.2.74
hadits. Perbedaan ini dikarenakan sebagian orang menghitung hadits yang diulang
sebagai satu hadits dan sebagian lagi menghitungnya sebagai dua hadits. Abu
Dawud membagi Sunannya dalam beberapa kitab dan tiap kitab dibagi menjadi
beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah diantaranya ada 3 kitab yang tidak
dibagi dalam bab-bab. Sedangkan jumlah babnya ada 1.871 bab.
Koleksi hadis Sunan Abu Dawud
telah memikat ulama generasi berikutnya untuk mengulas (mensyarahi)
kandungannya dan tak kurang dari 13 kitab yang ditulis oleh ulama dengan latar
belakang madzhab fiqh yang berbeda, antara lain :
Ma’alim As-Sunan, oleh Al-Khathabi (wafat 388 H); Syarah As-Sunan, oleh Ar-Ramli (wafat 844 H); Syarah As-Sunan, oleh Quthbuddin as-Syafi’i (wafat 652 H) yang naskah aslinya belum pernah digandakan; Aunu Al-Ma’bud, oleh Syamsu al-Haqq al-Adhim Abadi, dinilai sebagai kitab syarah terpadat dan berwawasan luas; Al-Minhal al-’Azbu al-Maurud, oleh syeikh Mahmud al-Subki (wafat 1352 H) mencapai 10 jilid format besar dan dilanjutkan oleh putera beliau syeikh Amin Mahmud al-Subki sehingga selesai menjadi 14 jilid.
Ma’alim As-Sunan, oleh Al-Khathabi (wafat 388 H); Syarah As-Sunan, oleh Ar-Ramli (wafat 844 H); Syarah As-Sunan, oleh Quthbuddin as-Syafi’i (wafat 652 H) yang naskah aslinya belum pernah digandakan; Aunu Al-Ma’bud, oleh Syamsu al-Haqq al-Adhim Abadi, dinilai sebagai kitab syarah terpadat dan berwawasan luas; Al-Minhal al-’Azbu al-Maurud, oleh syeikh Mahmud al-Subki (wafat 1352 H) mencapai 10 jilid format besar dan dilanjutkan oleh putera beliau syeikh Amin Mahmud al-Subki sehingga selesai menjadi 14 jilid.
Perihal jumlah guru hadits Imam
Abu Dawud, ulama ahli hadits berbeda pendapat. Abu Ali Al-Ghosaany, misalnya,
menyebutkan nama-nama guru Abu Dawud yang mencapai 300 orang. Sementara Imam
Al-Mizzy menyebutkan jumlah 177 nama guru sang Imam dalam kitabnya, Tahdzibul
Kamal.
Jumlah yang sama banyak juga
tercatat dalam daftar ulama yang pernah menjadi muridnya. Yang paling terkenal
tentu saja Imam Abu Isa At-Tirmidzi dan Imam An-Nasa`i, penyusun dua kitab
Sunan yang juga termasuk dalam kutubus sittah. Selain mereka tersebut juga nama
Abu Bakr bin Abi Daud, Abu Thoyib Ahmad bin Ibrahim Al-Baghdadi, Abu Amr Ahmad
bin Ali Al-Bashri, Ali bin Hasan Al-Anshari, Muhammad bin Bakr At-Tammaar, dan
Abu Ali Muhammad bin Ahmad Al-Lu’lu’i, yang tidak lain adalah perawi kitab
Sunan Abu Dawud.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari sekian banyak kitab-kitab hadits dan
penulisnya, ada beberapa penulis yang sangat terkenal keshahihannya diantara
penulis-penulis yang lain. Kitab-kitab tersebut diantaranya adalah:
1. Al-Muwaththo karya
Imam Malik
2. Sahih
al-Bukhari karya Imam al-Bukhari
3. Sahih
Muslim Karya Imam Muslim
4. Sunan
Abu Daud karya imam Abu Daud.
Hanya
inilah pembahasan dari kami, sekali lagi kami mohon maaf atas kekurangan
dari makalah kami dan mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi siapa
yang
membacanya. Amiin..... Ya Rabbal’alamiin.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Ø Al-Hafidz Al-Mabarkafuri, Muqaddimah
Tuhfatul-Ahwadzi, Beirut, Dar Al-Fikri, 1979, jilid I, hal. 109-110.
Ø Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag. 2008. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
No comments:
Post a Comment