SHALAT JAMA’ DAN QASHAR MENURUT 4 MAZHAB - BERITA ISLAM TERKINI
loading...

Friday, April 29, 2016

SHALAT JAMA’ DAN QASHAR MENURUT 4 MAZHAB


BAB I
PENDAHULUAN
       Perjalanan, merupakan salah satu kegiatan yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia, apa lagi pada jaman modern ini. Perjalanan selalu membutuhkan tenaga dan menyita waktu kita, entah itu banyak atau sedikit. Meski dengan berkembangnya teknologi transportasi, jarak tempuh perjalanan tidak selalu berbanding lurus dengan waktu yang dibutuhkan, karena ada faktor lain yang sangat menentukan, yaitu alat transportasi yang dipergunakan.
    Demi sebuah perjalanan, banyak hal dan kadang kewajiban yang dengan terpaksa meski kita tinggalkan atau pun kita tunda. Namun ada kewajiban-kewajiban yang tidak boleh kita tinggalkan meski dengan alasan perjalanan. Salah satunya adalah kewajiban terhadap sang khalik, yaitu Sholat 5 waktu. Dalam Islam sudah ditentukan aturan-aturan yang sangat mempermudah bagi para musafir. Sholat yang dilaksanakan dalam perjalanan biasa disebut sholatus safar.
     Islam adalah agama Allah SWT yang banyak memberikan kemudahan kepada para pemeluknya didalam melakukan berbagai ibadah dan amal sholehnya, sebagaimana firman Allah SWT :

.....3 يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ 
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al Baqarah : 185)
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ 

Artinya : “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj : 78)
Islam juga dibangun dengan lima pilar. Salah satu pilarnya adalah shalat. Karenanya shalat merupakan tiang agama. Ketika seorang meninggalkan shalat ia disebut penghancur agama tetapi sebalikya ketika ia melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya maka ia disebut sebagai penegak agama. Karenanya, seorang muslim tidak boleh meninggalkan shalat walau bagaimanapun juga tak terkecuali dalam bepergian. Seperti halnya seorang yang tidak memiliki air untuk berwudhu maka ia diperbolehkan bertayammum, begitupula dengan sholat yang dapat dilakukan dengan cara dijama’ (dirangkap) maupun diqoshor (dipotong).
Dengan demikian, pembahasan kali ini akan membahas tentang jama’ qashar dan menjama’ shalat menurut pendapat para ulama.

BAB II
PEMBAHASAN

SHALAT JAMA’ DAN QASHAR

A.      PENGERTIAN[1]
1.      Shalat Jama'
            Menurut bahasa shalat jama' artinya shalat yang dikumpulkan. Sedangkan menurut syariat Islam ialah dua shalat fardhu yang dikerjakan dalam satu waktu karena ada sebab-sebab tertentu.
a.       Shalat yang Boleh Dijama' :
Shalat yang boleh dijama' adalah shalat zhuhur dengan shalat ashar, dan shalat maghrib dengan shalat isya.
b.      Shalat jama' ada dua macam, yakni :
Ø  Jama' Taqdim yaitu shalat zhuhur dan shalat ashar dikerjakan pada waktu zhuhur, atau shalat maghrib dengan shalat isya dikerjakan pada waktu maghrib.
Ø  Jama' Ta'khir yaitu shalat zhuhur dan shalat ashar dikerjakan pada waktu ashar atau shalat maghrib dan isya dikerjakan pada waktu isya.
2.      Shalat Qashar
Shalat qashar menurut bahasa ialah shalat yang diringkas, yaitu meringkas shalat yang jumlahnya 4 rakaat menjadi 2 rakaat. Dalam hal ini shalat yang dapat diringkas adalah zhuhur, ashar dan isya.

B.       DASAR HUKUM SHALAT JAMA' DAN QASHAR
1. Al-Qur’an
Q.S An-Nisa : 101
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا.  
Artinya : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. An-Nisaa : 101).
2. Hadits
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: “Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu Shalallahu ‘Alaihi Wassalam empat raka’at apabila hadhar (mukim) dan dua raka’at apabila safar.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dll).
Dari Umar radhiallahu ‘anhu berkata:”Shalat safar (musafir) adalah dua raka’at, shalat Jum’at adalah dua raka’at dan shalat ‘Ied adalah dua raka’at.” (HR.Ibnu Majah dan An Nasa’i dll dengan sanad dengan shahih).

C.      HUKUM SHALAT QASHAR MENURUT PENDAPAT ULAMA
Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat, apakah mengqashar shalat dalam perjalanan (safar) itu wajib, sunnah atau pilihan.
1.      Wajib
Mazhab imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa shalat qashar bagi orang yang melakukan perjalanan hukumnya adalah wajib[2]. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Nabi berikut :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : الصَّلَاةُ أَوَّلُ مَا فُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ.(رواه البخاري : 1028 (
Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Muhammad], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami [Sufyan], dari [Az-Zuhri], dari [Urwah], dari [‘Aisyah ra], ia berkata : Shalat pada awal mulanya diwajibkan 2 rakaat, kemudian (ketentuan ini) ditetapkan sebagai shalat safar (2 rakaat) dan disempurnakan (menjadi 4 rakaat) bagi shalat di temapat tinggal (mukim)(HR Bukhari : 1028 )[3]
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ الْأَخْنَسِ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : فُرِضَتْ الصَّلَاةُ عَلَى لِسَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَضَرِ أَرْبَعًا وَفِي السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَفِي الْخَوْفِ رَكْعَةً. (رواه النسائي )
Telah mengabarkan kepada kami [Amr bin Ali], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami [Yahya] dan [Abdurrahman], mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami [Abu ‘Awanah] dari [Bukair bin Al-Akhnas] dari [Mujahid] dari [Ibnu Abbas], ia berkata : Shalat diwajibkan lewat lisan Nabi saw bagi yang tinggal di tempat (mukim) 4 rakaat, dalam keadaan bepergian 2 rakaat, dan dalam keadaan takut satu rakaat.(HR. An-Nasai : 452 )[4]
Dua hadits di atas memang tegas menyebut dengan kata `diwajibkan`, sehingga dijadikan dalil oleh mazhab imam Hanafi untuk mewajibkan qashar shalat dalam perjalanan (safar).
2.      Sunnah
Mazhab imam Maliki berpendapat, bahwa shalat qashar bagi orang yang melakukan perjalanan hukumnya adalah sunat muakkad. Dalilnya adalah tindakan Rasulullah saw yang secara umum selalu mengqashar shalat dalam hampir semua perjalanannya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عِيسَى بْنِ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ : صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ لَا يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ.(رواه البخاري : 1038(
Telah menceritakan kepada kami [Musaddad], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami [Yahya] dari [‘Isa bin Hafash bin ‘Ashim], ia berkata : Telah menceritakan kepadaku [ayahku], bahwa ia pernah mendengar [Ibnu Umar] berkata: Aku menemani Rasulullah saw, beliau tidak pernah menambah shalat lebih dari 2 rakaat dalam safar (perjalanan), demikian pula Abu Bakar, Umar dan Utsman ra. (HR.Bukhari :1038 )[5]
3.      Pilihan
Mazhab imam Syafi`i dan Hanbali berpendapat bahwa shalat qashar bagi orang yang melakukan perjalanan hukumnya adalah ‘Jaiz’, yaitu boleh memilih antara mengqashar shalat atau itmam (menyempurnakan 4 rakaat). Namun menurut mereka, mengqashar itu tetap lebih utama daripada itmam, karena merupakan sedekah dari Allah swt. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ الْآخَرُونَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ ابْنِ أَبِي عَمَّارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَابَيْهِ عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ {لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا} فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ.(رواه مسلم (
Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abi Syaibah] dan [Abu Kuraib] dan [Zuhair bin Harb] dan [Ishaq bin Ibrahim]. Ishaq berkata : “Telah mengabarkan kepada kami”. Yang lain mengatakan : “Telah menceritakan kepada kami” [Abdullah bin Idris] dari [Ibnu Juraij] dari [Ibnu Abi Ammar] dari [Abdullah bin Babaih], dari [Ya’la bin Umayyah], ia berkata : Aku berkata kepada [Umar bin Khattab] tentang firman Allah yang artinya :“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (QS. An-Nisa : 101),-Sementara saat ini manusia dalam kondisi aman (maksudnya tidak dalam kondisi perang). Umar menjawab : Sungguh aku juga pernah penasaran seperti yang engkau juga penasaran tentang ayat itu, lalu aku tenyakan kepada Rasulullah saw tentang ayat tersebut. Beliau saw menjawab : Itu (mengqashar shalat) adalah sedekah yang Allah berikan kepada kalian, maka terimalah sedekah-Nya. (HR.Muslim : 1108 )[6]
Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Allah swt menyukai bila kita menerima sedekah-Nya, yaitu berupa rukhshah (keringanan dari)Nya dilaksanakan.
أخبرنا محمد بن إسحاق بن إبراهيم مولى ثقيف ، قال : حدثنا قتيبة بن سعيد ، قال : حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ عَنْ حَرْبِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قال : إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يُحِبَّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ.(رواه ابن جبان : 3637 (
Telah mengabarkan kepada kami [Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim] mantan budak [Tsaqif], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah bin Sa’id], Ia berkata : telah menceritakan kepada kami [Abdul Aziz bin Muhammad] dari [‘Ammar bin Ghaziyyah] dari [Harb bin Qais] dari [Nafi’] dari [Ibnu Umar] dari Rasulullah saw, beliau bersabda : Sesungguhnya Allah suka jika rukhshah (keringanan dari)Nya dilaksanakan sebagaimana Dia suka jika kewajiban-Nya dijalankan. (HR. Ibnu Hibban : 3637 )[7]
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ عَنْ حَرْبِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ.(رواه احمد :5606)
Telah menceritakan kepada kami [Ali bin Abdillah], telah menceritakan kepada kami [Abdul Aziz bin Muhammad] dari [Ammar bin Ghaziyyah] dari [Harb bin Qais] dari [Nafi’] dari [Ibnu Umar], ia berkata : Rasulullah saw, bersabda : Sesungguhnya Allah suka jika rukhshah (keringanan dari)Nya dilaksanakan sebagaimana Dia benci jika kemaksiatan kepada-Nya dilakukan(HR.Ahmad : 5606 )[8]
Selain dari keterangan di atas, Aisyah dan Rasulullah saw pernah mengadakan perjalanan, dimana mereka saling berbeda dalam shalat, yang satu mengqashar dan yang lain tidak mengqashar. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِىُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِىُّ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ كَثِيرٍ الصُّورِىُّ ح وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِىُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو الْغَزِّىُّ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ الْفِرْيَابِىُّ حَدَّثَنَا الْعَلاَءُ بْنُ زُهَيْرٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : خَرَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى عُمْرَةٍ فِى رَمَضَانَ فَأَفْطَرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَصُمْتُ وَقَصَرَ وَأَتْمَمْتُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بِأَبِى وَأُمِّى أَفْطَرْتَ وَصُمْتُ وَقَصَرْتَ وَأَتْمَمْتُ. قَالَ أَحْسَنْتِ يَا عَائِشَةُ.(رواه الدارقطني : 2317 )
Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar An-Naisabury], telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Muhammad bin Amr Al-Ghazzi], mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Yusuf Al-Firyaby], telah menceritakan kepada kami [Al’Ala’ bin Zuhair] dari [Abdurrahman bin Al-Aswad] dari ayahnya, dari ‘Aisayah, ia berkata : Aku pernah keluar melakukan umrah bersama Rasullah saw di bulan Ramadhan, beliau saw berbuka dan aku tetap berpuasa, beliau mengqashar shalat dan aku tidak. Maka aku berkata : Wahai Rasulullah! Dengan ayah dan ibuku, anda berbuka dan aku berpuasa, anda mengqashar dan aku tidak. Beliau menjawab : Kamu baik, wahai Aisyah. (HR. Ad-Daruquthuny : 2317 )[9]

D.      SYARAT SAH SHALAT QASHAR[10]
1. Niat shalat qashar
Shalat qashar harus dilakukan dengan niat qashar ketika takbiratul Ihram. Mazhab imam Syafi’I dan Hanbali sepakat, bahwa “niat” qashar harus dilakukan untuk setiap kali shalat. Mazhab imam Malik berpendapat bahwa “niat” qashar cukup dilakukan di awal shalat yang diqashar dalam perjalanan itu, dan shalat berikutnya tidak wajib memperbaharui niat qashar. Sedangkan mazhab imam Abu Hanifa berpendapat bahwa yang wajib dilakukan adalah “niat safar”; dan bila niat safar telah dilakukan, maka bagi sang musafir wajib mengqashar shalatnya menjadi 2 rakaat.[11]
2. Bukan perjalanan maksiat
Shalat qashar dapat dilakukan dengan syarat perjalanan itu mubah, bukan perjalanan maksiat. Mazhab imam Syafi’I dan Hanbali sepakat, bahwa perjalanan yang terlarang atau maksiat, tidak membolehkan untuk mengqashar shalat; dan kalau shalatnya itu diqashar, maka shalat tersebut tidak sah. Sedangkan mazhab imam Abu Hanifa dan Malik berpendapat bahwa mengqashar shalat tidak disyaratkan perjalanan yang mubah. Bahkan menurut mazhab imam Abu Hanifa wajib mengqashar shalatnya atas setiap orang yang melakukan perjalanan (musafir), walaupun perjalanannya termasuk yang terlarang/diharamkan. Dan menurut mazhab imam Malik, shalatnya sah walaupun dilakukan bersama perbuatan dosa.
3. Shalat Adaa’ (tunai)
Shalat yang diqashar itu adalah shalat adaa’ (tunai), bukan shalat Qadha’. Adapun shalat yang ketinggalan di waktu dalam perjalanan boleh diqashar bila diqadha’ dalam perjalanan; tetapi shalat yang ketinggalan waktu mukim tidak boleh diqadha’ dengan qashar sewaktu dalam perjalanan.
4. Perjalanan jarak jauh
Shalat Qashar dapat dilakukan bagi orang yang melakukan perjalanan dengan jarak jauh, yaitu 16 farsakh. Jarak 16 Farsakh dalam kitab Fiqih empat madzhab : 80,640 km. Sedangkan satu Farsakh menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhussunnah : 5541 m[12]. jadi 16 x 5541 = 88,656 (16 Farsakh = 88,656 km). Dalam suatu riwayat ditegaskan, bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengqashar shalat setelah menempuh perjalanan dengan jarak 4 burud, yaitu 16 Farsakh :
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهِيَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا.(رواه البخاري)
Dan adalah Ibnu Umar dan Ibnu Abbas pernah mengqashar dan berbuka dalam perjalanan 4 burud, yaitu 16 Farsakh. (HR.Buklhari)[13]
Para ‘Ulama’ berbeda pendapat tentang jarak tempuh yang membolehkan shalat qashar. Namun imam Malik, Syafi’I dan Ahmad sepakat, bahwa jarak tempuh yang membolehkan shalat qashar adalah 4 burud[14], yaitu 16 Farshakh. (80,640 km/88,656 km). Walaupun jarak itu dapat ditempuh dengan waktu yang singkat, hanya satu jam perjalanan umpamanya, seperti naik pesawat terbang, maka tetap dianggap telah memenuhi syarat untuk mengqashar shalat, karena yang dijadikan dasar adalah jarak tempuh, bukan hari atau waktu tempuh. Dalilnya adalah hadits Nabi :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْمَاعِيلَ التِّرْمِذِىُّ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْعَلاَءِ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ عَبْدِ الْوَهَّابِ بْنِ مُجَاهِدٍ عَنْ أَبِيهِ وَعَطَاءِ بْنِ أَبِى رَبَاحٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: يَا أَهْلَ مَكَّةَ لاَ تَقْصُرُوا الصَّلاَةَ فِى أَدْنَى مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عُسْفَانَ. (رواه الدارقطني : 1463)
Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Muhammad bin Ziyad], telah menceritakan kepada kami [Abu Isma’il At-Tirmidzi], telah menceritakan kepada kami [Ibrahim bin Al-‘Ala’], telah menceritakan kepada kami [Isma’il bin ‘Ayyasy], dari [Abdul wahhab bin Mujahid] dari ayahnya, dan [‘Atha’ bin rabah] dari [Ibnu Abbas ra], bahwa Rasulullah saw bersabda : Wahai penduduk Mekkah, janganlah kalian mengqashar shalat bila kurang dari 4 burud, dari Mekkah ke Usfan. (HR. Ad-Daruquthuny : 1463)[15]
Mengqashar shalat dalam perjalanan sudah boleh dilakukan walaupun belum mencapai jarak yang telah ditetapkan, dengan syarat sejak awal niatnya memang akan menempuh jarak sejauh itu. Shalat qashar sudah bisa dimulai ketika musafir itu sudah keluar dari kota atau wilayah tempat tinggal. Suatu ketika Anas bin Malik mengqashar shalat bersama Nabi saw di Dzul Hulaifah atau sekarang dikenal dengan Bir ‘Ali setelah melakukan perjalanan dari kota Madinah. Sedangkan jarak antara Madinah–Bir ‘Ali (Dzul Hulaifaf) hanya 12 km.[16] Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ مَيْسَرَةَ سَمِعَا أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ : صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا وَصَلَّيْتُ مَعَهُ الْعَصْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ.(رواه مسلم : 1115)
Telah menceritakan kepada kami [Sa’id bin Manshgur], telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al-Muknkadir] dan [Ibrahim bin maisarah] mereka berdua pernah mendengar [ Anas bin Malik ra] berkata : Aku pernah shalat Zhuhur bersama Rasulullah SAW di Madinah 4 rakaat, dan shalat Ashar bersama beliau di Dzil Hulaifah 2 rakaat. (HR.Muslim : 1115)[17]
Ø  Batas Jarak Minimal
Jarak paling dekat untuk bolehnya mengqashar shalat menurut imam Nawawi dan pengikutnya adalah 3 mil. Sedangkan satu mil menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhussunnah : 1748 m. (3 x 1748 = 5,238), jadi, 3 mil = 5,238 km. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ كِلَاهُمَا عَنْ غُنْدَرٍ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ الْهُنَائِيِّ قَالَ : سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ قَصْرِ الصَّلَاةِ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ-شُعْبَةُ الشَّاكُّ- صَلَّى رَكْعَتَيْنِ.(رواه مسلم  )
Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abi Syaibah] dan [Muhammad bin Basysyar] keduanya dari [Ghundzar], [Abu Bakar] berkata : Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin ja’far] [Ghundar] dari [Syu’bah] dari [Yahya bin Yazid Al-huna’i] ia berkata : Aku bertanya kepada [Anas bin Malik] tentang shalat qashar, lalu ia menjawab : Rasulullah SAW jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh[Syu’bah ragu] beliau shalat 2 rakaat. (HR.Muslim : 1116)[18]
Ø  Tanpa Batas Jarak
Menurut Ibnu Hazm Azh-Zhahiri, seorang musafir dapat mengqashar shalatnyatanpa adanya batas minimal jarak yang harus ditempuh, yang penting sudah termasuk dalam perjalanan (safar), berdasarkan umumnya firman Allah surat An-Nisa ayat101 yang artinya : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu).
Ø  Jarak 3 Hari Perjalanan
Sebagian Ulama’ berpendapat, bahwa bolehnya mengqashar shalat adalah menggunakan ukuran hari atau waktu tempuh. Seperti mazhab imam Abu Hanifahberpendapat, bahwa hari atau waktu yang harus tempuh adalah minimal perjalanan 3 hari. Dan perjalanan itu cukup dilakukan sejak pagi hingga zawal di siang hari. Dasar dari penggunaan masa waktu tiga hari ini adalah hadits Nabi SAW, dimana dalam beberapa hadits beliau selalu menyebut perjalanan dengan masa waktu tempuh tiga hari. Seperti hadits tentang mengusap sepatu, disana dikatakan bahwa seorang boleh mengusap sepatu selama perjalanan 3 hari.
حَدَّثَنَا الْمُهَاجِرُ بْنُ مَخْلَدٍ أَبُو مَخْلَدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ رَخَّصَ لِلْمُسَافِرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ....(رواه الدارقطني )
Telah menceritakan kepada kami [Al-Muhajir bin Makhlad Abu Makhlad], dari [Abdurrahman bin Abi Bakrah] dari ayahnya, dari Nabi saw, bahwa sesungguhnya beliau memberikan keringanan (Rukhshah) kepada orang yang bepergian (untuk mengusap sepatu) dalam jangka waktu tiga hari tiga malam. (HR. Ad-Daruqthny : 796)[19]
Demikian juga ketika Rasulullah saw menyebutkan tentang larangan wanitabepergian tanpa mahram yang menyertainya, beliau menyebut perjalanan selama 3 hari.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ أَخْبَرَنَا الضَّحَّاكُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ ثَلَاثِ لَيَالٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ.(رواه مسلم)
Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Raf’I’], telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abi Fudaik], telah mengabarkan kepada kami [Adh-Dhahhak] dari [Nafi’] dari [Abdullah bin Umar] dari Nabi saw, beliau bersabda : Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian sejauh 3 malam kecuali bersama mahram. (HR.Muslim : 2382)[20]
Menurut mazhab imam Abu Al-Hanifah, penyebutan 3 hari perjalanan itu pasti ada maksudnya, yaitu untuk menyebutkan bahwa minimal jarak perjalanan yang membolehkan qashar adalah sejauh perjalanan 3 hari.
E.       BERAKHIRNYA KEBOLEHAN QASHAR
Pada waktu Rasulullah saw melaksanakan haji wada’ mukim di Makkah dan sekitarnya selama 10 hari. Dan selama 10 hari mukim, beliau mengqashar shalatnya. Beliau datang di Makkah pada hari ke 4 dan mukim di Makkah pada hari ke 5, 6 dan 7; dan pada hari ke 8 keluar dari Makkah menuju Mina, hari ke 9 menuju Arafah, hari ke 10 kembali ke Mina; dan mukim di Mina pada hari ke 11, 12 dan berangkan ke Makkah lagi pada hari ke13; lalu kembali ke Madinah pada hari ke 14.[21]
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعَ قُلْتُ كَمْ أَقَامَ بِمَكَّةَ قَالَ عَشْرًا.(رواه مسلم)
Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Yahya At-tamimy], telah mengabarkan kepada kami [Husyaim] dari [Yahya bin Abi Ishaq] dari [Anas bin Malik] : kami berangkat bersama Rasulullah saw dari Madinah ke Makkah, lalu beliau shalat 2 rakaat, 2 rakaat hingga pulang. Aku bertanya : Berapa lama beliau mukim di Makkah? Dia menjawab : Sepuluh hari. (HR.Muslim : 1118)[22]
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ح حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَقَمْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرًا نَقْصُرُ الصَّلَاةَ.(رواه البخاري : 3959)
Telah menceritakan kepada kami [Abu Nu’aim], telah menceritakan kepada kami [Sufyan], telah menceritakan kepada kami [Qabishah], telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Yahya bin Abi Ishaq] dari [Anas ra], ia berkata : Kami bermukim bersama Nabi saw 10 hari, dan sekian hari itu kami melakukan qashar.(HR.Buklhari : 3959)[23]
Empat Mazhab Beda Pendapat :
1.      Imam Malik dan Imam As-Syafi`i berpendapat bahwa masa berlakunya qashar bila menetap disuatu tempat selama 4 hari.
2.      Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 15 hari.
3.      Imam Ahmad bin Hanbal dan Daud berpendapat bahwa masa berlakunya qashar bila menetap disuatu tempat lebih dari 4 hari.




BAB III
KESIMPULAN

Dari paparan di atas dapat difahami bahwa qashar shalat dibolehkan dalam bepergian atau safar adalah rukhsah dan hukumnya mubah. Seorang musafir mendapat keringanan untuk melakukan shalat ini baik dengan qashar maupun itmam.
Adapun hal lainnya yakni menjama’, para ulama berbeda pandangan kapan bolehnya seseorang melakukan jama’. Sampai pada kesimpulan terutama mazhab Hambali yang membolehkan alasan di luar hal yang disepakati yakni: jama’ karena bepergian, jama’ di Arafah dan Muzdalifah dan karena hujan.
Karenanya bagi yang mendapati kesulitan atau kesukaran dalam tiap kali shalat pada waktunya maka memungkinkan baginya untuk menjama’ shalat. 
Pemaparan hal itu sudah dikemukakan di atas tetapi dengan syarat tidak menjadi kebiasaan dan rutin dan hal tersebut tidak bermaksud selain untuk memudahkan dan tidak menyulitkan umat. Demikian, meski sering jalan-jalan, dan menempuh perjalanan panjang jangan lupa melaksakan sholat 5 waktu.
Hanya sampai disinilah kemampuan penyusun dalam menyusun Karya Tulis ini, sebagai akhir kata mengucapkan Alhamdulillah, walaupun dalam penyusunan karya Tulis ini tentu banyak kekurangan dan kekhilafan baik dari segi bahan maupun sistematikanya.
Demikian sebagian penutup dari penyusun, semoga bermanfaat, Amiin.

           







DAFTAR PUSTAKA


v  Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘alaa Madzaahibil Arba’ah, Juz : 1, Muassasah Al-Mukhtar, Kaero, 2006M/1426H
v  “PETNJUK IBADAH HAJI, UMRAH DAN ZIARAH” oleh DR.Miftah Faridl, Penerbit Pustaka Bandung, 1427 H – 2006 M





[2] Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘alaa Madzaahibil Arba’ah, Juz : 1, Muassasah Al-Mukhtar, Kaero, 2006M/1426H, hal. 381 -383
[3] Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Yaqshuru idzaa kharaja min maudh’ihii, juz : 4, ha. 238
[4] Sunan An-nasai, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab kaifa Furidhatish shalaatu, juz : 2, ha. 235)
[5] Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab man lam Yatathawwa’ fissafar Duburashalaati wa qablahaa,juz :4, ha.253)
[6] Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Sahalatul Musafir wa qashrihaa, juz : 19, ha.296)
[7] Shahih Ibnu Hibban, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Sahalatul Musafir wa qashrihaa, juz : 15, ha. 133)
[8] Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Musnad Abdullah bin Umar, juz : 12, ha. 143)
[9] Sunan Ad-Daruquthuny, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Qublah Lishshaim, juz : 6, ha. 58)
[10] Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, Juz : 1, Darul Ilmi, Surabaya Indonesia, hal. 114-115
[11] Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘alaa Madzaahibil Arba’ah, juz :1, Op cit, hal. 387
[12] Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab/juz : 1, hal. 284
[13] Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Fii kam Yaqshurusa sdalaata, juz : 4, hal.231
[14] Ibnu Rusyd Al-Hafid, Bidayatul Mujtahid, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab/juz : 1, hal. 135.
[15] Sunan Ad-Daruquthuny, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Qadril Masafal Latii taqshuru fii Mitslihaa Shlaatun wa qadril Muddah, juz : 4, hal. 109)
[16] “PETNJUK IBADAH HAJI, UMRAH DAN ZIARAH” oleh DR.Miftah Faridl, Penerbit Pustaka Bandung, 1427 H – 2006 M, hal. 161
[17] Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Sahalatul Musafir wa qashrihaa, juz : 3, ha.469
[18] Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Sahalatul Musafir wa qashrihaa, juz : 3, ha. 470
[19] Sunan Ad-Daruqthny, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab maa filmashi ‘alalkhuffain bighairi tawqiit, juz : 2, ha. 375
[20] Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab safari mar-ati ma’a mahramin ilaa haajin wa ghairihii, juz : 7, ha. 45
[21] Syarhun Nawawi ‘Alaa Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab shalaatil musaafiriin wa qashrihaa, juz : 3, hal. 2
[22] Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab shalaatil musaafiriin wa qashrihaa, juz : 3, ha. 472
[23] Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maqaaminj Nabiyyi bi Makkata zamanl fathi, juz : 13, hal. 194

1 comment: