BAB
I
PENDAHULUAN
Perjalanan,
merupakan salah satu kegiatan yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan
manusia, apa lagi pada jaman modern ini. Perjalanan selalu membutuhkan tenaga
dan menyita waktu kita, entah itu banyak atau sedikit. Meski dengan
berkembangnya teknologi transportasi, jarak tempuh perjalanan tidak selalu
berbanding lurus dengan waktu yang dibutuhkan, karena ada faktor lain yang
sangat menentukan, yaitu alat transportasi yang dipergunakan.
Demi sebuah
perjalanan, banyak hal dan kadang kewajiban yang dengan terpaksa meski kita
tinggalkan atau pun kita tunda. Namun ada kewajiban-kewajiban yang tidak boleh
kita tinggalkan meski dengan alasan perjalanan. Salah satunya adalah kewajiban
terhadap sang khalik, yaitu Sholat 5 waktu. Dalam Islam sudah ditentukan
aturan-aturan yang sangat mempermudah bagi para musafir. Sholat yang
dilaksanakan dalam perjalanan biasa disebut sholatus safar.
Islam
adalah agama Allah SWT yang banyak memberikan kemudahan kepada para pemeluknya
didalam melakukan berbagai ibadah dan amal sholehnya, sebagaimana firman Allah
SWT :
.....3 يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu.
(QS. Al Baqarah : 185)
وَمَا جَعَلَ
عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ
Artinya : “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj : 78)
Islam juga
dibangun dengan lima pilar. Salah satu pilarnya adalah shalat. Karenanya shalat
merupakan tiang agama. Ketika seorang meninggalkan shalat ia disebut penghancur
agama tetapi sebalikya ketika ia melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya maka
ia disebut sebagai penegak agama. Karenanya, seorang muslim tidak boleh
meninggalkan shalat walau bagaimanapun juga tak terkecuali dalam bepergian. Seperti
halnya seorang yang tidak memiliki air untuk berwudhu maka ia diperbolehkan
bertayammum, begitupula dengan sholat yang dapat dilakukan dengan cara dijama’
(dirangkap) maupun diqoshor (dipotong).
Dengan
demikian, pembahasan kali ini akan membahas tentang jama’ qashar dan menjama’
shalat menurut pendapat para ulama.
BAB II
PEMBAHASAN
SHALAT JAMA’ DAN QASHAR
A. PENGERTIAN[1]
1. Shalat Jama'
Menurut
bahasa shalat jama' artinya shalat yang dikumpulkan. Sedangkan menurut syariat
Islam ialah dua shalat fardhu yang dikerjakan dalam satu waktu karena ada
sebab-sebab tertentu.
a. Shalat yang Boleh Dijama' :
Shalat yang
boleh dijama' adalah shalat zhuhur dengan shalat ashar, dan shalat maghrib
dengan shalat isya.
b. Shalat jama' ada dua macam, yakni :
Ø Jama' Taqdim yaitu shalat zhuhur dan shalat ashar
dikerjakan pada waktu zhuhur, atau shalat maghrib dengan shalat isya dikerjakan
pada waktu maghrib.
Ø Jama' Ta'khir yaitu shalat zhuhur dan shalat ashar
dikerjakan pada waktu ashar atau shalat maghrib dan isya dikerjakan pada waktu
isya.
2. Shalat Qashar
Shalat
qashar menurut bahasa ialah shalat yang diringkas, yaitu meringkas shalat yang
jumlahnya 4 rakaat menjadi 2 rakaat. Dalam hal ini shalat yang dapat diringkas
adalah zhuhur, ashar dan isya.
B. DASAR HUKUM SHALAT JAMA' DAN QASHAR
1. Al-Qur’an
Q.S An-Nisa : 101
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ
فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ
خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ
إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا.
Artinya : Dan apabila
kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar
sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya
orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. An-Nisaa : 101).
2. Hadits
Dari Ibnu
Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: “Allah menentukan shalat melalui lisan
Nabimu Shalallahu ‘Alaihi Wassalam empat raka’at apabila hadhar (mukim) dan dua
raka’at apabila safar.” (HR.
Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dll).
Dari Umar
radhiallahu ‘anhu berkata:”Shalat safar (musafir) adalah dua raka’at, shalat
Jum’at adalah dua raka’at dan shalat ‘Ied adalah dua raka’at.” (HR.Ibnu Majah dan An Nasa’i dll dengan sanad
dengan shahih).
C. HUKUM SHALAT QASHAR MENURUT PENDAPAT ULAMA
Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat, apakah mengqashar shalat
dalam perjalanan (safar) itu wajib, sunnah atau pilihan.
1. Wajib
Mazhab imam Abu
Hanifah berpendapat, bahwa shalat qashar bagi orang yang melakukan
perjalanan hukumnya adalah wajib[2].
Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Nabi berikut :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ
الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
: الصَّلَاةُ أَوَّلُ مَا فُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ
السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ.(رواه البخاري : 1028 (
Telah menceritakan
kepada kami [Abdullah bin Muhammad], ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami [Sufyan], dari [Az-Zuhri], dari [Urwah], dari [‘Aisyah ra], ia berkata
: Shalat pada awal mulanya diwajibkan 2 rakaat, kemudian (ketentuan ini)
ditetapkan sebagai shalat safar (2 rakaat) dan disempurnakan (menjadi 4 rakaat)
bagi shalat di temapat tinggal (mukim). (HR Bukhari : 1028 )[3]
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى وَعَبْدُ
الرَّحْمَنِ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ الْأَخْنَسِ
عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : فُرِضَتْ الصَّلَاةُ عَلَى
لِسَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَضَرِ
أَرْبَعًا وَفِي السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَفِي الْخَوْفِ رَكْعَةً. (رواه النسائي
)
Telah mengabarkan
kepada kami [Amr bin Ali], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami [Yahya]
dan [Abdurrahman], mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami [Abu
‘Awanah] dari [Bukair bin Al-Akhnas] dari [Mujahid] dari [Ibnu Abbas], ia
berkata : Shalat diwajibkan lewat lisan Nabi saw bagi yang tinggal di
tempat (mukim) 4 rakaat, dalam keadaan bepergian 2 rakaat, dan dalam keadaan
takut satu rakaat.(HR. An-Nasai : 452 )[4]
Dua hadits di atas
memang tegas menyebut dengan kata `diwajibkan`, sehingga dijadikan dalil
oleh mazhab imam Hanafi untuk mewajibkan qashar shalat dalam
perjalanan (safar).
2. Sunnah
Mazhab
imam Maliki berpendapat, bahwa shalat qashar bagi orang yang
melakukan perjalanan hukumnya adalah sunat muakkad. Dalilnya adalah
tindakan Rasulullah saw yang secara umum selalu mengqashar shalat dalam hampir
semua perjalanannya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عِيسَى بْنِ حَفْصِ بْنِ
عَاصِمٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ
: صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ لَا
يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ
كَذَلِكَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ.(رواه البخاري : 1038(
Telah menceritakan
kepada kami [Musaddad], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami [Yahya]
dari [‘Isa bin Hafash bin ‘Ashim], ia berkata : Telah menceritakan kepadaku
[ayahku], bahwa ia pernah mendengar [Ibnu Umar] berkata: Aku menemani
Rasulullah saw, beliau tidak pernah menambah shalat lebih dari 2 rakaat dalam
safar (perjalanan), demikian pula Abu Bakar, Umar dan Utsman ra. (HR.Bukhari :1038 )[5]
3. Pilihan
Mazhab
imam Syafi`i dan Hanbali berpendapat bahwa shalat qashar
bagi orang yang melakukan perjalanan hukumnya adalah ‘Jaiz’, yaitu boleh
memilih antara mengqashar shalat atau itmam (menyempurnakan 4 rakaat). Namun
menurut mereka, mengqashar itu tetap lebih utama daripada itmam, karena
merupakan sedekah dari Allah swt. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ وَزُهَيْرُ
بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ
الْآخَرُونَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ
ابْنِ أَبِي عَمَّارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَابَيْهِ عَنْ يَعْلَى بْنِ
أُمَيَّةَ قَالَ قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ {لَيْسَ عَلَيْكُمْ
جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ
الَّذِينَ كَفَرُوا} فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ
مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ
فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ.(رواه مسلم (
Telah menceritakan
kepada kami [Abu Bakar bin Abi Syaibah] dan [Abu Kuraib] dan [Zuhair bin Harb]
dan [Ishaq bin Ibrahim]. Ishaq berkata : “Telah mengabarkan kepada kami”.
Yang lain mengatakan : “Telah menceritakan kepada kami” [Abdullah bin
Idris] dari [Ibnu Juraij] dari [Ibnu Abi Ammar] dari [Abdullah bin Babaih],
dari [Ya’la bin Umayyah], ia berkata : Aku berkata kepada [Umar bin
Khattab] tentang firman Allah yang artinya :“Dan apabila kamu bepergian di muka
bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut
diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh
yang nyata bagimu”. (QS. An-Nisa : 101),-Sementara saat ini manusia dalam
kondisi aman (maksudnya tidak dalam kondisi perang). Umar menjawab : Sungguh
aku juga pernah penasaran seperti yang engkau juga penasaran tentang ayat itu,
lalu aku tenyakan kepada Rasulullah saw tentang ayat tersebut. Beliau saw
menjawab : Itu (mengqashar shalat) adalah sedekah yang Allah berikan kepada
kalian, maka terimalah sedekah-Nya. (HR.Muslim : 1108 )[6]
Dalam riwayat yang lain
disebutkan bahwa Allah swt menyukai bila kita menerima sedekah-Nya, yaitu
berupa rukhshah (keringanan dari)Nya dilaksanakan.
أخبرنا محمد بن إسحاق بن إبراهيم مولى ثقيف ، قال : حدثنا قتيبة بن سعيد ، قال
: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ
عَنْ حَرْبِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عن رسول الله صلى الله
عليه وسلم ، قال : إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا
يُحِبَّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ.(رواه ابن جبان : 3637 (
Telah mengabarkan
kepada kami [Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim] mantan budak [Tsaqif], ia berkata
: Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah bin Sa’id], Ia berkata : telah
menceritakan kepada kami [Abdul Aziz bin Muhammad] dari [‘Ammar bin Ghaziyyah]
dari [Harb bin Qais] dari [Nafi’] dari [Ibnu Umar] dari Rasulullah saw, beliau
bersabda : Sesungguhnya Allah suka jika rukhshah (keringanan dari)Nya
dilaksanakan sebagaimana Dia suka jika kewajiban-Nya dijalankan. (HR. Ibnu Hibban : 3637 )[7]
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ
مُحَمَّدٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ عَنْ حَرْبِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ نَافِعٍ
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ
أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ.(رواه احمد :5606)
Telah menceritakan
kepada kami [Ali bin Abdillah], telah menceritakan kepada kami [Abdul Aziz bin
Muhammad] dari [Ammar bin Ghaziyyah] dari [Harb bin Qais] dari [Nafi’] dari
[Ibnu Umar], ia berkata : Rasulullah saw, bersabda : Sesungguhnya Allah
suka jika rukhshah (keringanan dari)Nya dilaksanakan sebagaimana Dia benci jika
kemaksiatan kepada-Nya dilakukan. (HR.Ahmad : 5606 )[8]
Selain dari keterangan
di atas, Aisyah dan Rasulullah saw pernah mengadakan perjalanan, dimana mereka
saling berbeda dalam shalat, yang satu mengqashar dan yang lain tidak
mengqashar. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِىُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ
بْنِ زِيَادٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِىُّ
قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ كَثِيرٍ الصُّورِىُّ ح
وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِىُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو الْغَزِّىُّ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
يُوسُفَ الْفِرْيَابِىُّ حَدَّثَنَا الْعَلاَءُ بْنُ زُهَيْرٍ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ الأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : خَرَجْتُ
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى عُمْرَةٍ فِى رَمَضَانَ فَأَفْطَرَ
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَصُمْتُ وَقَصَرَ وَأَتْمَمْتُ فَقُلْتُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ بِأَبِى وَأُمِّى أَفْطَرْتَ وَصُمْتُ وَقَصَرْتَ وَأَتْمَمْتُ.
قَالَ أَحْسَنْتِ يَا عَائِشَةُ.(رواه الدارقطني : 2317 )
Telah menceritakan
kepada kami [Abu Bakar An-Naisabury], telah menceritakan kepada kami [Abdullah
bin Muhammad bin Amr Al-Ghazzi], mereka berdua berkata : Telah menceritakan
kepada kami [Muhammad bin Yusuf Al-Firyaby], telah menceritakan kepada kami
[Al’Ala’ bin Zuhair] dari [Abdurrahman bin Al-Aswad] dari ayahnya, dari
‘Aisayah, ia berkata : Aku pernah keluar melakukan umrah bersama Rasullah
saw di bulan Ramadhan, beliau saw berbuka dan aku tetap berpuasa, beliau
mengqashar shalat dan aku tidak. Maka aku berkata : Wahai Rasulullah! Dengan
ayah dan ibuku, anda berbuka dan aku berpuasa, anda mengqashar dan aku tidak.
Beliau menjawab : Kamu baik, wahai Aisyah. (HR. Ad-Daruquthuny : 2317 )[9]
1. Niat shalat qashar
Shalat qashar harus dilakukan dengan niat qashar ketika takbiratul Ihram.
Mazhab imam Syafi’I dan Hanbali sepakat,
bahwa “niat” qashar harus dilakukan untuk setiap kali shalat. Mazhab
imam Malik berpendapat bahwa “niat” qashar cukup dilakukan
di awal shalat yang diqashar dalam perjalanan itu, dan shalat berikutnya tidak
wajib memperbaharui niat qashar. Sedangkan mazhab imam Abu
Hanifa berpendapat bahwa yang wajib dilakukan adalah “niat
safar”; dan bila niat safar telah dilakukan, maka bagi sang musafir wajib
mengqashar shalatnya menjadi 2 rakaat.[11]
2. Bukan perjalanan maksiat
Shalat qashar dapat dilakukan dengan syarat perjalanan itu mubah, bukan
perjalanan maksiat. Mazhab
imam Syafi’I dan Hanbali sepakat, bahwa perjalanan yang
terlarang atau maksiat, tidak membolehkan untuk mengqashar shalat; dan kalau
shalatnya itu diqashar, maka shalat tersebut tidak sah. Sedangkan mazhab
imam Abu Hanifa dan Malik berpendapat bahwa mengqashar
shalat tidak disyaratkan perjalanan yang mubah. Bahkan menurut mazhab imam Abu
Hanifa wajib mengqashar shalatnya atas setiap orang yang melakukan
perjalanan (musafir), walaupun perjalanannya termasuk yang
terlarang/diharamkan. Dan menurut mazhab imam Malik, shalatnya sah walaupun
dilakukan bersama perbuatan dosa.
3. Shalat Adaa’ (tunai)
Shalat yang diqashar itu adalah shalat adaa’ (tunai), bukan shalat Qadha’.
Adapun shalat yang ketinggalan di waktu dalam perjalanan boleh diqashar bila
diqadha’ dalam perjalanan; tetapi shalat yang ketinggalan waktu mukim tidak
boleh diqadha’ dengan qashar sewaktu dalam perjalanan.
4. Perjalanan jarak jauh
Shalat Qashar dapat
dilakukan bagi orang yang melakukan perjalanan dengan jarak jauh, yaitu 16
farsakh. Jarak 16 Farsakh dalam kitab Fiqih empat madzhab : 80,640 km.
Sedangkan satu Farsakh menurut Sayyid Sabiq dalam kitab
Fiqhussunnah : 5541 m[12]. jadi
16 x 5541 = 88,656 (16 Farsakh = 88,656 km). Dalam suatu riwayat
ditegaskan, bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengqashar shalat setelah menempuh
perjalanan dengan jarak 4 burud, yaitu 16 Farsakh :
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ يَقْصُرَانِ
وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهِيَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا.(رواه
البخاري)
Dan adalah Ibnu Umar
dan Ibnu Abbas pernah mengqashar dan berbuka dalam perjalanan 4 burud, yaitu 16
Farsakh. (HR.Buklhari)[13]
Para ‘Ulama’ berbeda
pendapat tentang jarak tempuh yang membolehkan shalat qashar. Namun
imam Malik, Syafi’I dan Ahmad sepakat, bahwa jarak tempuh
yang membolehkan shalat qashar adalah 4 burud[14], yaitu
16 Farshakh. (80,640 km/88,656 km). Walaupun jarak itu dapat ditempuh
dengan waktu yang singkat, hanya satu jam perjalanan umpamanya, seperti naik
pesawat terbang, maka tetap dianggap telah memenuhi syarat untuk mengqashar
shalat, karena yang dijadikan dasar adalah jarak tempuh, bukan hari atau waktu
tempuh. Dalilnya adalah hadits Nabi :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ حَدَّثَنَا أَبُو
إِسْمَاعِيلَ التِّرْمِذِىُّ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْعَلاَءِ حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ عَبْدِ الْوَهَّابِ بْنِ مُجَاهِدٍ عَنْ أَبِيهِ
وَعَطَاءِ بْنِ أَبِى رَبَاحٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم قَالَ: يَا أَهْلَ مَكَّةَ لاَ تَقْصُرُوا الصَّلاَةَ فِى أَدْنَى مِنْ
أَرْبَعَةِ بُرُدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عُسْفَانَ. (رواه الدارقطني : 1463)
Telah menceritakan
kepada kami [Ahmad bin Muhammad bin Ziyad], telah menceritakan kepada kami [Abu
Isma’il At-Tirmidzi], telah menceritakan kepada kami [Ibrahim bin Al-‘Ala’],
telah menceritakan kepada kami [Isma’il bin ‘Ayyasy], dari [Abdul wahhab bin
Mujahid] dari ayahnya, dan [‘Atha’ bin rabah] dari [Ibnu Abbas ra], bahwa
Rasulullah saw bersabda : Wahai penduduk Mekkah, janganlah kalian
mengqashar shalat bila kurang dari 4 burud, dari Mekkah ke Usfan. (HR. Ad-Daruquthuny : 1463)[15]
Mengqashar shalat dalam
perjalanan sudah boleh dilakukan walaupun belum mencapai jarak yang telah
ditetapkan, dengan syarat sejak awal niatnya memang akan menempuh jarak sejauh
itu. Shalat qashar sudah bisa dimulai ketika musafir itu sudah keluar dari kota
atau wilayah tempat tinggal. Suatu ketika Anas bin Malik mengqashar shalat
bersama Nabi saw di Dzul Hulaifah atau sekarang dikenal dengan Bir ‘Ali setelah
melakukan perjalanan dari kota Madinah. Sedangkan jarak antara Madinah–Bir ‘Ali
(Dzul Hulaifaf) hanya 12 km.[16] Hadits
Nabi :
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ الْمُنْكَدِرِ وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ مَيْسَرَةَ سَمِعَا أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ
يَقُولُ : صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الظُّهْرَ بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا وَصَلَّيْتُ مَعَهُ الْعَصْرَ بِذِي
الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ.(رواه مسلم : 1115)
Telah menceritakan
kepada kami [Sa’id bin Manshgur], telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin
Al-Muknkadir] dan [Ibrahim bin maisarah] mereka berdua pernah mendengar [ Anas
bin Malik ra] berkata : Aku pernah shalat Zhuhur bersama Rasulullah SAW di
Madinah 4 rakaat, dan shalat Ashar bersama beliau di Dzil Hulaifah 2 rakaat. (HR.Muslim : 1115)[17]
Ø Batas Jarak Minimal
Jarak paling dekat
untuk bolehnya mengqashar shalat menurut imam Nawawi dan pengikutnya
adalah 3 mil. Sedangkan satu mil menurut Sayyid Sabiq dalam
kitab Fiqhussunnah : 1748 m. (3 x 1748 = 5,238), jadi, 3 mil = 5,238 km.
Hadits Nabi :
حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ
كِلَاهُمَا عَنْ غُنْدَرٍ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ
غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ
الْهُنَائِيِّ قَالَ : سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ قَصْرِ
الصَّلَاةِ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ-شُعْبَةُ
الشَّاكُّ- صَلَّى رَكْعَتَيْنِ.(رواه مسلم )
Telah menceritakan
kepada kami [Abu Bakar bin Abi Syaibah] dan [Muhammad bin Basysyar] keduanya
dari [Ghundzar], [Abu Bakar] berkata : Telah menceritakan kepada kami [Muhammad
bin ja’far] [Ghundar] dari [Syu’bah] dari [Yahya bin Yazid Al-huna’i] ia
berkata : Aku bertanya kepada [Anas bin Malik] tentang shalat qashar, lalu
ia menjawab : Rasulullah SAW jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh[Syu’bah
ragu] beliau shalat 2 rakaat. (HR.Muslim :
1116)[18]
Ø Tanpa Batas Jarak
Menurut Ibnu
Hazm Azh-Zhahiri, seorang musafir dapat mengqashar shalatnyatanpa adanya
batas minimal jarak yang harus ditempuh, yang penting sudah termasuk dalam
perjalanan (safar), berdasarkan umumnya firman Allah surat An-Nisa ayat101 yang
artinya : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah
mengapa kamu men-qashar shalat(mu).
Ø Jarak 3 Hari Perjalanan
Sebagian Ulama’
berpendapat, bahwa bolehnya mengqashar shalat adalah menggunakan ukuran hari
atau waktu tempuh. Seperti mazhab imam Abu Hanifahberpendapat, bahwa hari
atau waktu yang harus tempuh adalah minimal perjalanan 3 hari. Dan perjalanan
itu cukup dilakukan sejak pagi hingga zawal di siang hari. Dasar dari
penggunaan masa waktu tiga hari ini adalah hadits Nabi SAW, dimana dalam
beberapa hadits beliau selalu menyebut perjalanan dengan masa waktu tempuh
tiga hari. Seperti hadits tentang mengusap sepatu, disana dikatakan bahwa
seorang boleh mengusap sepatu selama perjalanan 3 hari.
حَدَّثَنَا الْمُهَاجِرُ بْنُ مَخْلَدٍ أَبُو مَخْلَدٍ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم
أَنَّهُ رَخَّصَ لِلْمُسَافِرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ....(رواه
الدارقطني )
Telah menceritakan
kepada kami [Al-Muhajir bin Makhlad Abu Makhlad], dari [Abdurrahman bin Abi
Bakrah] dari ayahnya, dari Nabi saw, bahwa sesungguhnya beliau memberikan
keringanan (Rukhshah) kepada orang yang bepergian (untuk mengusap
sepatu) dalam jangka waktu tiga hari tiga malam. (HR. Ad-Daruqthny : 796)[19]
Demikian juga ketika
Rasulullah saw menyebutkan tentang larangan wanitabepergian
tanpa mahram yang menyertainya, beliau menyebut perjalanan selama 3
hari.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ
أَخْبَرَنَا الضَّحَّاكُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا يَحِلُّ
لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ ثَلَاثِ
لَيَالٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ.(رواه مسلم)
Telah menceritakan
kepada kami [Muhammad bin Raf’I’], telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abi
Fudaik], telah mengabarkan kepada kami [Adh-Dhahhak] dari [Nafi’] dari
[Abdullah bin Umar] dari Nabi saw, beliau bersabda : Tidak halal bagi
wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian sejauh 3 malam
kecuali bersama mahram. (HR.Muslim :
2382)[20]
Menurut mazhab
imam Abu Al-Hanifah, penyebutan 3 hari perjalanan itu pasti ada maksudnya,
yaitu untuk menyebutkan bahwa minimal jarak perjalanan yang membolehkan qashar
adalah sejauh perjalanan 3 hari.
E. BERAKHIRNYA KEBOLEHAN QASHAR
Pada waktu Rasulullah
saw melaksanakan haji wada’ mukim di Makkah dan sekitarnya selama 10 hari.
Dan selama 10 hari mukim, beliau mengqashar shalatnya. Beliau datang
di Makkah pada hari ke 4 dan mukim di Makkah pada hari ke 5, 6
dan 7; dan pada hari ke 8 keluar dari Makkah menuju Mina, hari ke 9 menuju
Arafah, hari ke 10 kembali ke Mina; dan mukim di Mina pada hari ke 11, 12 dan
berangkan ke Makkah lagi pada hari ke13; lalu kembali ke Madinah pada
hari ke 14.[21]
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ عَنْ
يَحْيَى بْنِ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : خَرَجْنَا
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْمَدِينَةِ إِلَى
مَكَّةَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعَ قُلْتُ كَمْ أَقَامَ
بِمَكَّةَ قَالَ عَشْرًا.(رواه مسلم)
Telah menceritakan
kepada kami [Yahya bin Yahya At-tamimy], telah mengabarkan kepada kami
[Husyaim] dari [Yahya bin Abi Ishaq] dari [Anas bin Malik] : kami
berangkat bersama Rasulullah saw dari Madinah ke Makkah, lalu beliau shalat 2
rakaat, 2 rakaat hingga pulang. Aku bertanya : Berapa lama beliau mukim di
Makkah? Dia menjawab : Sepuluh hari. (HR.Muslim : 1118)[22]
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ح حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَقَمْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَشْرًا نَقْصُرُ الصَّلَاةَ.(رواه البخاري : 3959)
Telah menceritakan
kepada kami [Abu Nu’aim], telah menceritakan kepada kami [Sufyan], telah
menceritakan kepada kami [Qabishah], telah menceritakan kepada kami [Sufyan]
dari [Yahya bin Abi Ishaq] dari [Anas ra], ia berkata : Kami bermukim
bersama Nabi saw 10 hari, dan sekian hari itu kami melakukan qashar.(HR.Buklhari : 3959)[23]
Empat Mazhab Beda Pendapat :
1. Imam Malik dan Imam As-Syafi`i berpendapat bahwa masa berlakunya qashar
bila menetap disuatu tempat selama 4 hari.
2. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan qashar bila
menetap disuatu tempat selama 15 hari.
3. Imam Ahmad bin Hanbal dan Daud berpendapat bahwa masa berlakunya qashar
bila menetap disuatu tempat lebih dari 4 hari.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
paparan di atas dapat difahami bahwa qashar shalat dibolehkan dalam bepergian
atau safar adalah rukhsah dan hukumnya mubah. Seorang musafir mendapat
keringanan untuk melakukan shalat ini baik dengan qashar maupun itmam.
Adapun hal
lainnya yakni menjama’, para ulama berbeda pandangan kapan bolehnya seseorang
melakukan jama’. Sampai pada kesimpulan terutama mazhab Hambali yang
membolehkan alasan di luar hal yang disepakati yakni: jama’ karena bepergian,
jama’ di Arafah dan Muzdalifah dan karena hujan.
Karenanya
bagi yang mendapati kesulitan atau kesukaran dalam tiap kali shalat pada
waktunya maka memungkinkan baginya untuk menjama’ shalat.
Pemaparan
hal itu sudah dikemukakan di atas tetapi dengan syarat tidak menjadi kebiasaan
dan rutin dan hal tersebut tidak bermaksud selain untuk memudahkan dan tidak
menyulitkan umat. Demikian, meski sering jalan-jalan, dan menempuh
perjalanan panjang jangan lupa melaksakan sholat 5 waktu.
Hanya
sampai disinilah kemampuan penyusun dalam menyusun Karya Tulis ini, sebagai
akhir kata mengucapkan Alhamdulillah, walaupun dalam penyusunan karya Tulis ini
tentu banyak kekurangan dan kekhilafan baik dari segi bahan maupun
sistematikanya.
Demikian
sebagian penutup dari penyusun, semoga bermanfaat, Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
v Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘alaa Madzaahibil Arba’ah, Juz : 1,
Muassasah Al-Mukhtar, Kaero, 2006M/1426H
v “PETNJUK IBADAH HAJI, UMRAH DAN ZIARAH” oleh DR.Miftah Faridl, Penerbit
Pustaka Bandung, 1427 H – 2006 M
[2] Abdurrahman Al-Jaziri,
Al-Fiqhu ‘alaa Madzaahibil Arba’ah, Juz : 1, Muassasah Al-Mukhtar, Kaero,
2006M/1426H, hal. 381 -383
[3] Shahih Bukhari,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Yaqshuru idzaa kharaja min maudh’ihii, juz : 4,
ha. 238
[5] Shahih Bukhari, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, Bab man lam Yatathawwa’ fissafar Duburashalaati wa qablahaa,juz
:4, ha.253)
[7] Shahih Ibnu Hibban,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Sahalatul Musafir wa qashrihaa, juz : 15, ha.
133)
[15] Sunan Ad-Daruquthuny,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Qadril Masafal Latii taqshuru fii Mitslihaa Shlaatun
wa qadril Muddah, juz : 4, hal. 109)
[16] “PETNJUK IBADAH HAJI,
UMRAH DAN ZIARAH” oleh DR.Miftah Faridl, Penerbit Pustaka Bandung, 1427 H –
2006 M, hal. 161
[19] Sunan Ad-Daruqthny,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab maa filmashi ‘alalkhuffain bighairi
tawqiit, juz : 2, ha. 375
[20] Shahih Muslim,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab safari mar-ati ma’a mahramin ilaa haajin wa
ghairihii, juz : 7, ha. 45
[21] Syarhun Nawawi ‘Alaa
Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab shalaatil musaafiriin wa qashrihaa,
juz : 3, hal. 2
[22] Shahih Muslim,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab shalaatil musaafiriin wa qashrihaa, juz : 3, ha.
472
[23] Shahih Bukhari,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maqaaminj Nabiyyi bi Makkata zamanl fathi, juz :
13, hal. 194
smoga barokah dan manfaat ustad
ReplyDelete