Wahai wanita... Wahai ibu...
Bayangkan jika itu dirimu.
Dalam kondisi haid, dengan nyeri perut sebagaimana lazimnya dialami beberapa wanita saat haid, saat darah mengalir deras, namun kau tak punya pakaian dalam untuk ganti. Jangankan pembalut, pakaian pun hanya yang menempel di badan. Terbayangkah rasa tidak nyamannya?
Berhari-hari tanpa tersentuh air apalagi sabun.
Badan penuh keringat dan lumpur.
Beruntung kau bisa berendam di sungai meski menyisakan rasa gatal dan pakaian itu-itu saja yang mengering di badan.
Dalam kondisi hamil berjalan atau berlari berpuluh kilo jauhnya untuk mencari keselamatan dan perlindungan. Dalam nafas yang terasa semakin sesak dan terputus. Dengan lemah dan letih yang sangat getarkan tubuh. Pun tentu saja nyeri di perut disertai kekhawatiran akan keselamatan bayi yang kau kandung.
Makan dan minum? Kau sudah tak lagi bisa berpikir kehamilanmu istimewa untuk mendapatkan asupan dengan gizi yang cukup. Kau hanya perlu terus berlari dan berdoa Allah menguatkan bayi dalam kandunganmu. Meski resikonya ia mengambil segala zat yang ia butuhkan dari tubuhmu. Membuatmu bertambah lemah. Wahnan 'alaa wahnin... Lemah yang bertambah-tambah.
Atau saat kau adalah wanita hamil yang perutnya dikoyak dengan keji bahkan saat napas masih bertahta di tubuhmu.
...kau yang berlari sebatangkara dengan gemetar sambil di kepalamu berputar ulang bagaimana anak dan suamimu terbantai di depan matamu. Dibakar, disiksa, disayat atau ditembak serta penyiksaan keji lainnya yang tak pernah bisa terpikirkan olehmu. Apa dayamu?...
Jika kau adalah ibu dengan bayi yang masih menyusu, kau dekap ia di dada kurusmu. Dengan terus menghibur ia yang menjerit dan meraung karena lapar dan haus. Berulangkali kau sodorkan payudaramu, berulangkali pula bayimu menggigitnya karena kesal, kering tak setetespun ASI yang keluar karena kau sudah berbulan-bulan tak cukup makan dan minum.
Kau semakin panik saat bayimu demam atau muntah dan menangis semakin kemcang bahkan hingga suaranya melemah. Namun, tak ada yang bisa kau lakukan dalam pelarian. Tanpa kejelasan tempat tujuan pun kejelasan dan kenyamanan tempat sekadar untuk beristirahat. Kau hanya mampu mendekapnya dengan tubuh lemah gemetar diiringi air mata yang terus mengalir. Lirih bibir hitam keringmu melafadzkan dzikir, mengadu oada Rabbmu.
Pun jika kau adalah seorang wanita yang baru saja tercabik kehormatannya oleh belasan atau puluhan iblis yang memperkosamu bergantian. Hingga luluh lantak jiwa ragamu. Hingga terasa saripati jiwamu terhisap tak tersisa. Hampa. Apalagi jika hal itu dilakukan di depan mata suami dan anak-anakmu. Apa yang ada di benakmu saat matamu beradu pandang dengan mata mereka?ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
Pun jika anak-anakmu terpaksa mengungsi sendiri, karena kau dan suamimu telah syahid. Entah terpanggang, entah terpenggal, entah termutilasi. Kaki-kaki kecil anakmu menyebrangi bebatuan, rumput, lumpur dan sungai sambil di punggungnya menggendong adik balitanya. Falam dera ketakutan, lapar dan haus tentu saja.
Atau kau yang berlari sebatangkara dengan gemetar sambil di kepalamu berputar ulang bagaimana anak dan suamimu terbantai di depan matamu. Dibakar, disiksa, disayat atau ditembak serta penyiksaan keji lainnya yang tak pernah bisa terpikirkan olehmu. Apa dayamu? Kau tergolek lemah dengan air mata berderai usai kehormatanmu direnggut. Dan dalam pelarian.... Kau merasakan sesuatu tumbuh dalam rahimmu. Janin dari para iblis itu! Ah, seolah belum cukup penderitaanmu.
Allah...
Bayangkan jika itu dirimu...
Sumber: riafariana/voa-islam.com
No comments:
Post a Comment